Author

http://www.ayudadeblogger.com/

Karena merasa diuntungkan dengan meluasnya SARA dalam pilkada Jakarta, isu ini terus dipelihara dan dimainkan oleh buzzer Ahok untuk mendapatkan keuntungan.

Berbagai gelombang protes yang ditujukan pada petahana oleh organisasi masyarakat, lembaga keagamaan, dan gabungan tokoh-tokoh moderat, kerap disebut dengan "gelombang protes" kelompok intoleran.

Protes tersebut digambarkan sebagai gelombang radikalisme yang membahayakan NKRI, meskipun disampaikan secara damai dan konstitusional.

Padahal kelompok tersebut sedang melawan pejabat yang dianggap arogan dan sombong, yang kerap menggusur rakyat miskin demi memuaskan nafsu birahi para taipan.

Ahok dan para buzzer memanfaatkan media untuk memainkan skenario atau agenda setting politik.

Menggambarkan dan mempropagandakan bahwa pilkada Jakarta hanya sebatas persoalan antara kelompok radikal dengan kelompok toleran.

Setting ini bertujuan mengalihkan perhatian warga Jakarta agar selalu memperdebatkan masalah pilkada dalam perspekstif SARA.

Mengabaikan inti permasalahan sesungguhnya seperti makin tingginya kemiskinan, kesenjangan sosial, dan tidak meratanya pembangunan dan ekonomi.

Tak salah jika ada dugaan bahwa agenda setting politik sengaja dilakukan untuk menutupi keburukan-keburukan petahana.

Terutama kebijakan penggusuran dan pembiayaannya yang kerap menggunakan dana dari taipan rakus tanah, atau menutupi pelanggaran hukum atas izin reklamasi, atau permasalahan-permasalahan lainnya.

Karena itu, jangan heran mengapa isu SARA tidak bisa dihilangkan dari pilkada Jakarta.

Karena para buzzer sedang memelihara dan memanfaatkannya untuk menutupi keburukan petahana, sekaligus memanfaatkannya untuk membangun citra mereka sebagai korban yang terdzolimi.

Akhir-Akhir ini, ada beberapa kelompok yang gemar memberi stempel intoleran dan radikal kepada pemilih yang berbeda.

Permasalahannya sangat sepele, mereka tidak menerima seseorang yang memilih berdasarkan kriteria seiman.

Ketika mendengar imbauan atau ajakan yang menyarankan warga Muslim memilih pemimpin seiman, maka akan dicap sebagai pelanggaran SARA.

Padahal tidak ada hubungannya dengan pelanggaran SARA.

Mau memilih berdasarkan agama, satu kampung, satu kampus, satu etnis atau identitas primordial lainnya atau memilih tidak berdasarkan kesamaan agama atau identitas primordialpun sah-sah saja dan dijamin oleh konstitusi.

Orang-orang seperti ini tidak bisa dituduh intoleran apalagi memberi mereka stempel radikal.

Lain halnya jika ada kelompok yang memanfaatkan isu identitas untuk tujuan menghina, menghasut, mengancam, menyerang, dan melecehkan kandidat tertentu.

Itu baru melanggar konstitusi dan patut diberi stempel intoleran dan radikal. Hal-hal yang mengandung unsur tersebut dianggap melanggar hukum dan harus ditindak sesuai prosedur.

Jadi harus bisa dibedakan antara penentuan kriteria pemimpin yang ingin dipilih dengan materi kampanye yang melecehakan dan menodai SARA.

Kalau sekadar mengimbau masyarakat untuk memilih pemimpin yang seiman, itu tidak masalah. Menyebut mereka dengan sebutan intoleran dan radikal adalah suatu yang berlebihan.

Blogger Template -

Copyright 2017 Ayudadeblogger.com All Rights Reserved.